Langsung ke konten utama

Kaidah Ushul

Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul fiqh ) adalah suatu kebutuhan bagi kita calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan pendahulu – pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apaitu Qawaidul ushuliyah.
Kaidah-kaidah Pokok
Dalam ushul fiqh terdapat 5 kaidah pokok, yaitu:
1.        الأُمُـوْرُ بـِمَـقـَاصِـدِهَا (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat. 
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi: 
”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145) (makalah)

2.         الْيـَقِـيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّـكِ (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi yang kuat yang menyatakan sebaliknya.
Contoh: Kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal. 

3.        الْمـُشَـقَّةُ تَـجْـلِبُ التَّـيْسِـيْرُ (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar sholat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. 
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqoroh: 185)
 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28)

4.        الضَّرَرُ يُـزَالُ (Kemudharatan harus dihilangkan)
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyetujui), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
 Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.  

5.        الْـعَـادَةُ مُحَكَّـمَةٌ (Kebiasaan dapat menjadi hukum) 
Adat yang dimaksudkan kaidah Ushul fiqh diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsur berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik. 
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Khitabat dan Asbabun Nuzul

A.         Makna Al-Khitobah Makna al-Khitobah adalah الخطا بة , الكلا م الذ ي يقصد به الافها م و الموجه لمن له امل للفهم   “Ucapan yang dipahami dimaksudkan untuk orang-orang yang akan memahami ucapan tersebut”. Dalam pemahaman Filsafat Al-Khitobah dikenal dengan nama Diskursus, jika dalam Bahasa Indonesia adalah Wacana. Pengguna al-Khitob tetap digunakan dengan makna asli pemilik kalam, disebut dengan Mukhotib atau Pemilik kalam (Allah SWT). Khitob dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu Khitob ‘Am dan Khitob Khos : + Khitob ‘Am, Khitob yang sifatnya umum, ditujukan pada orang-orang yang beriman dan tidak beriman. Tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. +   Khitob Khos, Khitob yang sifatnya khusus, ditujukan pada kelompok tertentu. Diantaranya : Allah, Nabi, Rasul, Ahlu Kitab (Yahudi dan Nasrani).     Didalam al-Qur’an yang perlu dipahami ada 3 aspek, diantaranya : +   اصلا ح العقا ءد   ...

Bahasa Arab Al-Qur'an

Materi yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Arifin, MA adalah materi Bahasa Arab, tidak seperti materi bahasa arab pada umumnya, akan tetapi beliau menjelaskan materi tentang bahasa arab yang kemudian dikaitkan dengan Al-Qur’an, dalam hal ini bliau menjelaskan sebuah kaidah bahasa Arab, bahwa sebuah sinonim didalam bahasa arab khususnya didalam Al-Qur’an, ketika disebutkan di ayat yang lain maka maknanya akan berbeda, seperti menatap, memandang, memperhatikan dan sebagainya. Didalam Al-Qur'an, Allah SWT menggunakan banyak sekali kata-kata yang berbeda dengan maksud dan tujuan yang berbeda pula, akantetapi artinya sama. Seperti kata buah-buahan, didalam   Al-Qur'an, pertama didalam surat Al-Baqoroh ayat 22 Allah SWT menggunakan  kata "Tsamarot" yang artinya buah-buahan dan pada surat Yasin ayat 36 Allah SWT menggunakan kata "Fakihah" yang artinya buah-buahan pula. Dalam hal ini, maksud buah-buahan pada surat A l B aqoroh dan surat Y asin tentu berbeda. Pe...

Tafsir Ayat 4 Surah al-Qalam

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ   “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. A.        Kajian Makna Kata لَعَلَىٰ / la ala merupakan frase yang tersusun dari dua kata, yaitu lam dan ala, yang kemudian dapat berarti benar-benar atas. Hal yang sangat urgen dalam frase ini adalah kata lam yang—dalam gramatikal bahasa Arab disebut lam tawkid— berfungsi memperkuat informasi. Bahwasanya Nabi Muhammad saw merupakan sosok utusan Allah yang kepribadiannya dihias dengan budi pekerti yang baik/mulia. Kata خُلُقٍ / khuluq merupakan kata yang terambil dari kata khalaqa yang bermakna menciptakan (created). Kata khuluq sendiri seringkali diterjemahkan dengan a moral (budi pekerti). Khuluq/budi pekerti, bagi sebagian pakar, seringkali dikaitkan dengan kata khaliq/pencipta dan makhluq/yang diciptakan. Tiga kata ini terambil dari kata yang sama, yaitu khalaqa, sehingga kesamaan ini tiga kata ini memiliki keterkaitan makna. Bahwasanya,...